E-VOTING

I.          LATAR BELAKANG

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, sehingga budaya demokrasi tentunya sudah tidak asing lagi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sistem demokrasi sudah dianut oleh bangsa Indonesia sejak masa kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia yang terbentuk dari kata demos yang artinya rakyat dan kratein yang artinya pemerintahan/kekuasaan, sehingga arti dari demokratia adalah kekuasaan atau pemerintahan rakyat. Secara umum, Pengertian Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang melibatkan rakyat dalam sistem pemerintahan negara.
Selain itu, Pengertian Demokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atas kekuasaan negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pilar demokrasi yang biasa kita kenal adalah prinsip trias politica, dimana membagi ketiga kekuasaan politik negara yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dalam mewujudkan ketiga jenis lembaga negara yang bersifat independen dan berada dalam kesejajaran satu sama lain, diharapkan agar ketiga lembaga negara ini dapat saling mengontrol dan mengawasi.
Sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah demokrasi pancasila, dimana sistem demokrasi ini mementingkan keinginan, aspirasi dan suara hati nurani rakyat. Pengambilan keputusan pada sistem demokrasi ini dilakukan oleh wakil-wakil di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan cara voting atau musyawarah mufakat. Terdapat beberapa hal yang menjadikan suatu negara dapat dikatakan menganut sistem Demokrasi, diantaranya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan untuk bermusyawarah dan salah satu contoh nyatanya yang telah dilakukan di Indonesia adalah pelaksanaan Pemilihan umum (pemilu).
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan hanya untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPRDPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan secara langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

II.                 PEMBAHASAN (ISI)

Pada tugas Pendidikan Kewarganegaraan kali ini, saya mengambil tagline berita terbaru pada Selasa 14 Mar 2017, 09:42 WIB, berjudul “DPR Kaji e-Voting di Jerman, KPU: Sistem Itu Tak Perlu Dipakai”.
Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko. Beberapa hal yang menjadi kajian yaitu, terkait sistem pemilu, partai politik, pembiayaan kampanye, hingga sistem e-voting. Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy mengatakan bahwa Ufen merupakan ahli politik yang direkomendasikan oleh KBRI Jerman untuk memberikan masukan kepada Pansus selama di Jerman. Di Jerman, anggota Pansus berdiskusi dengan ahli politik dan analis politik Asia Selatan Prof Dr Andreas Ufen dari GIGA Hamburg di Wisma KBRI, pada hari Minggu tanggal 12/3.
Yang dikaji dalam kunjungan kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu ke Jerman dan Meksiko salah satunya adalah soal sistem e-voting. Meski demikian, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menyebut belum ada urgensi untuk menggunakan sistem e-voting. Indonesia memiliki rencana untuk menggunakan e-voting dalam sistem pemilu. Namun, banyak pihak kontra terhadap rencana tersebut. Penggunaan teknologi e-voting pada pemilu mendatang terasa dipaksakan. Indonesia tidak memerlukan sistem e-voting untuk digunakan saat ini juga.
KPU berpandangan bahwa sejak dimulainya kepengurusan dan sering berdiskusi mengenai berbagai kasus, KPU memandang teknologi itu membantu dalam proses pengerjaan dan pelaksanaan, dan KPU pada masa sekarang menggunakan sistem teknologi informasi, berbeda dengan sebelumnya. Meski demikian, pandangan KPU terhadap e-voting: tidak perlu.
Beberapa negara maju menurut hasil penelitian tidak menggunakan sistem e-voting diantaranya karena perdebatan mengenai transparansi dan kredibilitas hasilnya. Jerman yang pada awalnya menggunakan e-voting namun saat ini berhenti menggunakan sistem itu. Karena dari pihak konstitusinya mengharuskan semua warganya harus tahu bagaimana pemilu itu dilakukan. Karena ketika dicek ditiap-tiap masyarakat Jerman, banyak dari mereka yang tidak mengetahuinya, padahal pemahaman umum pemilihan umum di Jerman dipandang penting.
Identifikasi permasalahan di Indonesia adalah bukan bermasalah dengan sistem votingnya, melainkan bagaimana penyelenggara pemilu bisa menghadirkan hasil yang cepat, akurat, dan minim manipulasi. E-voting dianggap bisa menghilangkan sesuatu proses yang selama ini tidak menjadi suatu masalah dengan itu. Karena pada tahap proses di TPS merupakan tahap yang bagus di Indonesia.
Di TPS terjadi beberapa proses yang menjadi ciri khas di Indonesia yang menganut sistem pemilihan umum secara langsung, yaitu di TPS menunjukan sistem yang terbuka, terdapat interaksi yang terjalin di antara masyarakat saat proses perhitungan suara.
Tidak menutup kemungkinan bahwa ada negara lain yang mampu dan sukses menggunakan sistem e-voting, negara India dan Brasil. Sebelum dapat mensukseskan sistem e-voting, kedua negara tersebut melalui proses yang tidak sedikit dan sebentar kurang lebih belasan tahun. Dan di Brasil menganut lebih dari satu siklus pemilu.
Terdapat beberapa negara juga yang juga merencanakan untuk menggunakan teknologi e-voting, bahkan negara-negara tersebut sudah mempersiapkan peralatan-peralatan untuk itu namun kemudian urung menggunakannya. Negara tersebut adalah Australia dan Inggris. Kedua negara tersebut mempunyai masyarakat yang tingkat kepercayaannya terhadap penghitungan suara melalui teknologi rendah.
Pertimbangan lain yaitu, biaya penggunaan teknologi e-voting juga tidak murah. Pada Pilpres 2014, tercatat ada sekitar 548.000 tempat pemungutan suara se-Indonesia. Jika ingin menerapkan sistem e-voting pada pemilu serentak nanti, penyelenggara harus menyediakan mesin sejumlah itu. 
Sebenarnya apasih e-voting itu? E-voting merupakan suatu hasil dari perkembangan teknologi masa kini, lalu kenapa E-voting urung digunakan bahkan dianggap tidak diperlukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia.
            E-voting atau pemilihan elektronik merupakan suatu sistem pemilihan umum melalui teknologi masa kini. Pada umumnya E-voting digunakan untuk negara-negara kecil bebas konflik dan siap baik secara mental maupun sarana dan prasarana. E-voting yang mungkin mudah untuk dipahami oleh orang banyak adalah E-voting berbasis internet. Dimana pada saat proses pemilihan umum, masyarakat suatu negara hanya perlu gadget dan segala permasalahan dapat selesai dengan mudah. Namun permasalahannya tidak se-simple itu. Ada beberapa negara, bahkan dapat dikatakan jumlah negara yang tidak sedikit yang menganggap bahwa e-voting itu kurang membawa dampak yang baik.

Terdapat kelebihan dan kekurangan pada sistem tersebut, diantaranya:

Kelebihan:
  • ·        Penghitungan dan tabulasi suara lebih cepat.
  •         Hasil lebih akurat karena kesalahan manusia dikecualikan.
  •     Penanganan yang efisien dari formula sistem pemilu yang rumit yang memerlukan prosedur perhitungan yang melelahkan.
  •             Peningkatan tampilan surat suara yang rumit.
  •         Meningkatkan kenyamanan bagi para pemilih.
  •         Berpotensi meningkatkan partisipasi dan jumlah suara, khususnya pemilihan melalui Internet.
  •              Lebih selaras dengan kebutuhan masyarakat yang mobilitasnya semakin meningkat.
  • ·       Pencegahan kecurangan di TPS dan selama pengiriman dan tabulasi hasil dengan mengurangi campur tangan manusia.
  •        Meningkatkan aksesibilitas, contohnya, memakai surat suara audio untuk pemilih tuna rungu dengan pemilihan melalui Internet, begitu pula pada pemilih yang tinggal di rumah dan yang tinggal di luar negeri.
  • ·         Kemungkinan menggunakan layar multibahasa yang dapat melayani para pemilih multibahasa dengan lebih baik dibandingkan surat suara
  • ·         Pengurangan surat suara yang rusak karena sistem pemilihan dapat memperingatkan para pemilih tentang suara yang tidak sah (walaupun pertimbangannya harus diberikan untuk memastikan bahwa para pemilih bisa tidak memberikan suaranya jika mereka memilih demikian).
  • Berpotensi menghemat biaya dalam jangka panjang melalui penghematan waktu pekerja pemungutan suara dan mengurangi biaya untuk produksi dan distribusi surat suara.
  •  Penghematan biaya melalui pemilihan dengan Internet: jangkauan global dengan pengeluaran logistik yang sangat sedikit. Tidak ada biaya pengiriman, tidak ada keterlambatan saat pengiriman materi dan menerimanya kembali.
  •  Jika dibandingkan dengan pemilihan melalui pos, maka pemilihan melalui Internet dapat mengurangi insiden penjualan suara dan pemilihan oleh keluarga dengan memperbolehkan pemilihan beberapa kali namun hanya suara terakhir yang dihitung dan mencegah manipulasi dengan memberikan tenggat waktu bagi surat masuk, melalui kontrol langsung saat pemungutan suara.
Kelemahan:
    Kurangnya transparansi.
     Terbatasnya keterbukaan dan pemahaman sistem bagi yang bukan ahlinya.
     Kurangnya standar yang disepakati untuk sistem e-voting.
   Memerlukan sertifikasi sistem, tapi standar sertifikasi tidak disepakati secara luas.
   Berpotensi melanggar kerahasiaan pemilihan, khususnya dalam sistem yang melakukan autentikasi pemilih maupun suara yang diberikan.
     Risiko manipulasi oleh orang dalam dengan akses istimewa ke sistem atau oleh peretas dari luar.
     Kemungkinan kecurangan dengan manipulasi besar-besaran oleh sekelompok kecil orang dalam.
    Meningkatnya biaya baik pembelian maupun sistem pemeliharaan e-voting
   Meningkatnya persyaratan infrastruktur dan lingkungan, contohnya, berkaitan dengan pasokan listrik, teknologi komunikasi, suhu, kelembaban.
   Meningkatnya persyaratan keamanan untuk melindungi sistem pemberian suara selama dan antara pemilu ke pemilu selanjutnya termasuk selama pengangkutan, penyimpanan dan pemeliharaan.
  Kurangnya tingkat kendali oleh penyelenggara pemilihan karena tingginya ketergantungan terhadap vendor dan/atau teknologi.
          Kemungkinan penghitungan ulang terbatas.
          Kebutuhan untuk kampanye tambahan bagi pendidikan pemilih.
          Berpotensi konflik dengan kerangka hukum yang ada.
          Berpotensi kurangnya kepercayaan publik pada pemilihan berdasarkan e-voting sebagai hasil dari kelemahan-kelemahan di atas.

E-voting di lingkungan terkendali dan tidak terkendali
      E-voting dapat dibagi menjadi dua, yaitu e-voting di lingkungan terkendali, yaitu hampir serupa dengan pemilihan suara dengan TPS. Pada saat memilih di kotak suara, si pemilih kandidat diawasi ketika proses pemilihan suara berlangsung. Namun, bedanya e-voting berbasis ini adalah menggunakan mesin untuk memilih. Kertasnya diganti dengan teknologi komputer. Sedangkan e-voting di lingkungan tidak terkendali, si pemilih tidak diawasi oleh pengawas secara langsung, melainkan pemilih menggunakan komputer di rumah, atau handphone dan semacamnya tanpa diawasi oleh sekitar.
Dengan pemungutan suara di lingkungan tak terkendali, kekhawatiran mengenai kerahasiaan suara, pemilihan oleh keluarga, intimidasi, pembelian suara, hilangnya ritual saat hari pemilu, dampak kesenjangan digital dan pemisahan identitas pemilih. serta surat suara secara teknis, begitu pula dengan integritas teknis dari perangkat yang digunakan pemilih untuk memberikan suaranya, semuanya membutuhkan pertimbangan khusus. Bentuk terkini dari pemilihan melalui Internet belum dapat memberikan solusi definitif terhadap kekhawatiran tersebut.
E-voting di lingkungan tak terkendali dapat dilihat sebagai bentuk persamaan elektronik dari pemilihan melalui pos atau tidak memberikan suaranya/abstain.

Fitur umum dan fungsi sistem e-voting
Secara internal, sistem pemilihan elektronik memiliki banyak fungsi, termasuk enkripsi, pengacakan, komunikasi, dan sistem keamanan. Analisis spesifik atas fungsi-fungsi tersebut melampaui maksud dari lembar ini. Untuk pemahaman dasar mengenai hal-hal yang bisa dilakukan oleh sistem e-voting, dengan demikian, perlu mempertimbangkan daftar berikut ini tentang beberapa fungsi akhir yang dapat diberikan oleh sistem tersebut untuk para pemilih dan petugas pemilihan.
Daftar pemilih elektronik dan autentikasi pemilih. Bagian dari sistem pemilihan elektronik bisa menjadi daftar pemilih elektronik, meliputi satu TPS atau seluruh penjuru negeri. Daftar ini dapat digunakan untuk mengautentikasi para pemilih yang memenuhi syarat dan mencatat bahwa mereka telah memberikan suaranya.
Layar untuk pekerja pemilu. Fungsi khusus yang hanya tersedia bagi pekerja pemungutan suara, contohnya yaitu menghitung ulang suara pada pembukaan TPS, penutupan pemilihan, pencetakan dan pengiriman hasil.
Layar bagi suara yang diberikan. Hal ini termasuk layar sentuh, pengenal marka optik (OMR) kertas suara yang dimasukkan dalam pemindai, tablet peka-sentuh, tombol penekan, laman web atau perangkat lunak pemilih khusus untuk pemilihan melalui Internet.

Proses pemilu yang kredibel melalui kepercayaan dan keyakinan publik

Bagian  atas  piramida dan  tujuan  utama  dari  pembaruan  pemilu  dengan melaksanakan solusi e-voting merupakan proses pemilu kredibel yang mendapatkan kepercayaan dan keyakinan publik tingkat tinggi pada sistem baru. Pada awalnya, kepercayaan publik dibangun dalam konteks sosial politik yang kemudian memperkenalkan e-voting. Beberapa faktor dalam konteks ini dapat disampaikan secara langsung oleh strategi implementasi e-voting yang komprehensif, sementara yang lainnya, seperti kurangnya kepercayaan pada EMB atau politik fundamental atau oposisi teknis, akan lebih sulit untuk berubah.
Konteks sosial politik yang mendukung secara signifikan membantu pengenalan e-voting dan bahkan untuk sementara waktu dapat menutupi masalah yang mungkin terjadi pada pelaksanaan teknis yang terperinci. Kepercayaan terhadap solusi yang secara teknis lemah, bagaimanapun, dapat menyesatkan. Kelemahan saat operasional, fondasi teknis atau hukum pada akhirnya akan muncul ke permukaan dan mungkin akan mendiskreditkan, bukan hanya e-voting, tapi kemungkinan keseluruhan proses pemilu, terutama ketika taruhan politik dari suatu pemilu itu tinggi.
Pembatalan keseluruhan pemilihan elektronik dari pemilu suatu negara mungkin akan menjadi konsekuensinya, seperti yang terjadi di Jerman, Irlandia dan Belanda. Konteks negatif sosial politik menciptakan risiko serius, bahkan jika fondasi teknis dan operasional dari solusi e-voting diperdengarkan. Sangatlah sulit untuk membuat sistem e-voting transparan dan operasional mereka dipahami dalam waktu singkat bahkan menengah oleh masyarakat awam. Dukungan sosial dan politik yang lemah akan menghalangi pelaksanaan solusi e-voting yang dipercaya, karena penentang akan dengan mudah menemukan cara untuk merusak kepercayaan pada teknologi pemilihan dengan menunjuk beberapa kelemahan yang ada.

Lingkungan sosial politik
Kepercayaan pada penyelenggaraan pemilu dan keyakinan pada kerangka kerja pemilu yang lebih luas

E-voting cenderung mengemban jauh lebih banyak tanggung jawab bagi proses pemilu dibandingkan ribuan petugas TPS dan menempatkan tanggung jawab pada pusat penyelenggaraan pemilu dan pelaksana sistem e-voting. Dengan melakukannya, pelaksanaan e-voting mengurangi risiko meluasnya kecurangan dan manipulasi di tingkat TPS, tetapi memusatkan risiko manipulasi di tingkat pusat.
Hal ini menguntungkan bagi lingkungan yang kurang percaya pada petugas TPS, tetapi penyelenggara pemilu di pusat dipercaya. Namun, dalam lingkungan pemilu yang memiliki sedikit kepercayaan di struktur pusat EMB, pengenalan sistem pemilihan elektronik dapat dengan mudah menjadi subyek untuk menyebarkan isu mengenai potensi pusat manipulasi. Beberapa rumor ini mungkin sulit untuk disangkal.

Konsensus politik

Sistem e-voting dapat dengan mudah diperkenalkan ketika terjadi konsensus politik mengenai manfaat sistem pemilihan yang baru. Para aktor politik mungkin, bagaimanapun, menentang pemilihan elektronik dengan banyak alasan, baik secara prinsip, karena mereka sungguh-sungguh memiliki kekhawatiran teknis atau karena mereka takut bahwa jalur pemilihan yang baru menjadi keuntungan bagi lawan mereka; atau karena mereka percaya bahwa pihak lain mungkin menerima pujian karena memodernisasi bagian pemilihan ini; atau karena mereka tidak memercayai kemandirian para pelaksana sistem ini. Menghadapi perlawanan seperti ini, akan sulit atau tidak mungkin untuk berhasil dalam membangun keyakinan.
Oleh karena itu, mencari dukungan berbagai pihak selalu menjadi pendekatan yang sangat bijak untuk memberikan persetujuan perubahan legislatif yang diperlukan untuk memperkenalkan sistem pemilihan elektronik. Hal yang sama berlaku bahkan ketika tidak menjadi persyaratan wajib untuk mengubah perundangan.
Faktor risiko terkait dalam konteks ini yaitu sistem e-voting yang diperkenalkan sebagai proyek politik, atau lebih seringnya proyek nasional, bangga—dengan tujuan mendemonstrasikan teknologi yang cerdas dan modernitas. Keberlangsungan dan rasio biaya-manfaat yang berarti, dapat menjadi korban pertama dari pendekatan seperti ini. Pada beberapa tipe konteks, bahkan solusi yang jelas-jelas tidak sesuai atau tidak memadai, mungkin didorong dan dianggap perlu untuk menghindari rasa malu dari gagalnya suatu proyek bergengsi.
Pendekatan dengan mempertimbangkan e-voting sebagai pilihan yang dapat ditarik tanpa para pemangku kepentingan utama kehilangan muka membantu meminimalisasi risiko.

Konteks sosial

Para aktor sosial utama, seperti lembaga swadaya masyarakat dan para pakar, sering kali memiliki pendapat atau perhatian yang kuat mengenai e-voting. Idealnya, para aktor tersebut harus dilibatkan di tahap awal ketika merencanakan pengenalan e-voting, baik dengan memberikan mereka informasi yang cukup mengenai sistem yang dipertimbangkan dan dengan memperbolehkan mereka mengungkapkan kepedulian mereka sejak awal, ketika masih ada waktu untuk membahasnya.
Para pakar keamanan TIK kerap kali menjadi penentang kuat e-voting. Beberapa pertentangannya cukup fundamental dan banyak sistem yang tersedia saat ini tidak menjawab pertentangan tersebut. Penting untuk mendengar dan menjawab pertanyaan mereka dengan mengklarifikasi segala kesalahpahaman, mengoreksi kelemahan atau menerima risiko-risiko tertentu sebagai pertukaran untuk keuntungan memperkenalkan sistem baru.

III.              PENUTUP

Menggunakan e-voting tentunya akan menjadi sebuah tantangan bagi tiap negara yang berencana akan menggunakannya. Karena mengganti suatu hal yang kerap digunakan selama bertahun-tahun akan sangatlah sulit. Terutama di negara Indonesia yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda karena negara kepulauan yang tiap-tiap pulaunya memiliki kebiasaan, tradisi, pola pikir, pola hidup, dll yang berbeda-beda pula.
Suatu sistem pemilihan umum semacam e-voting merupakan terobosan yang patut diapresiasi di zaman yang sudah akrab dengan teknologi saat ini. Karena sistem e- voting dapat mendatangkan cukup banyak manfaat apabila dengan cara yg benar saat menggunakannya. Fungsi utama dari sebuah teknologi adalah memudahkan kegiatan manusia di bumi. Begitu pula dengan teknologi e-voting.
Namun, apabila teknologi e-voting tersebut memang bukan suatu cara yang baik untuk dijalankan disuatu negara, maka lebih baik tidak dipaksakan. Karena untuk merubah suatu sistem pada suatu negara tentu harus di pertimbangkan secara matang, supaya tidak ada dampak negatif atau kerugian yang akan diterima di masa mendatang. Dalam proses penggunaan e-voting sebelum mencapai kesuksesan, memakan waktu hingga belasan tahun.
Di negara Indonesia tidak memakai sistem pemilihan umum melalui teknologi e-voting karena pemilihan umum langsung di TPS merupakan ciri khas dan yang paling cocok dengan asas yang dianut di negara Indonesia yaitu LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Jadi, apabila proses pemilihan umum langsung di TPS tersebut dihilangkan maka asas tersebut juga akan hilang.
Kesimpulannya, menggunakan e-voting bukanlah sesuatu  hal yang buruk tetapi sebagai suatu negara pastinya tahu sesuai atau tidaknya negara tersebut memakai sistem e-voting. E-voting merupakan cara praktis dan cepat dalam proses pemungutan suara, tetapi resikonya terdapat pihak yang tidak bertanggung jawab di internet dan itu tidak terlihat kasat mata dan seperti yang kita ketahui. Pemilihan menggunakan alat seperti komputer membuat kita melewati proses tersebut tanpa tahu suasana dan kegiatan apa saja yang terjadi selama pemilihan.
Sedangkan menggunakan sistem pemilihan secara langsung, hal paling menonjol adalah transparansi dan interaksi masyarakat selama proses pemungutan suara sangat kuat. Setiap masyarakat yang sudah berhak memilih ketika pemilu akan merasakan sensasi khidmat dan bangga ketika terjun langsung dalam proses pemilihan calon kandidat pemilu. Namun, menggunakan pemilu langsung kerap kali hingga saat ini masih ditemukan kasus oknum-oknum jahat yang curang pada saat proses pemungutan suara.
Sukses atau tidaknya suatu sistem, tergantung sistem dan pola kenegaraan yang dianut di masing-masing negara. Dibutuhkan atau tidaknya sistem baru sehingga sistem lama perlu diganti. Jadi, e-voting bisa menjadi pilihan mutlak ataupun pilihan alternatif atau bukan dijadikan pilihan sama sekali, tergantung kebijakan negara masing-masing.





DAFTAR PUSTAKA

https://isma-ismi.com/pengertian-demokrasi.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Interpretatif

HUTAN KOTA UNIVERSITAS INDONESIA

Kritik Impresionis