E-VOTING
I.
LATAR BELAKANG
Indonesia
adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, sehingga budaya
demokrasi tentunya sudah tidak asing lagi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sistem demokrasi sudah dianut oleh bangsa Indonesia sejak masa kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Istilah demokrasi berasal
dari bahasa Yunani yaitu demokratia yang terbentuk dari kata demos yang artinya rakyat dan kratein yang artinya
pemerintahan/kekuasaan, sehingga arti dari demokratia adalah
kekuasaan atau pemerintahan rakyat. Secara umum, Pengertian Demokrasi merupakan
suatu sistem pemerintahan yang melibatkan rakyat dalam sistem pemerintahan
negara.
Selain
itu, Pengertian Demokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan suatu negara
sebagai upaya dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atas kekuasaan negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pilar demokrasi yang biasa kita
kenal adalah prinsip trias politica, dimana membagi ketiga kekuasaan
politik negara yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dalam mewujudkan
ketiga jenis lembaga negara yang bersifat independen dan berada dalam
kesejajaran satu sama lain, diharapkan agar ketiga lembaga negara ini dapat
saling mengontrol dan mengawasi.
Sistem
demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah demokrasi pancasila, dimana
sistem demokrasi ini mementingkan keinginan, aspirasi dan suara hati nurani
rakyat. Pengambilan keputusan pada sistem demokrasi ini dilakukan oleh
wakil-wakil di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan cara voting atau
musyawarah mufakat. Terdapat beberapa hal yang menjadikan suatu negara dapat
dikatakan menganut sistem Demokrasi, diantaranya kebebasan beragama, kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan untuk bermusyawarah dan salah satu contoh
nyatanya yang telah dilakukan di Indonesia adalah pelaksanaan Pemilihan umum
(pemilu).
Pemilihan
umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya
ditujukan hanya untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
Setelah amendemen keempat UUD
1945 pada
tahun 2002,
pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres),
yang semula dilakukan oleh MPR,
disepakati untuk dilakukan secara langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga
pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu
diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada
umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan
anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
II.
PEMBAHASAN (ISI)
Pada
tugas Pendidikan Kewarganegaraan kali ini, saya mengambil tagline berita
terbaru pada Selasa 14 Mar 2017, 09:42 WIB, berjudul “DPR Kaji e-Voting di Jerman, KPU: Sistem Itu Tak Perlu Dipakai”.
Panitia
Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu melakukan studi banding ke Jerman
dan Meksiko. Beberapa hal yang menjadi kajian yaitu, terkait sistem pemilu,
partai politik, pembiayaan kampanye, hingga sistem e-voting. Ketua Pansus
RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy mengatakan bahwa Ufen merupakan ahli
politik yang direkomendasikan oleh KBRI Jerman untuk memberikan masukan kepada
Pansus selama di Jerman. Di Jerman, anggota Pansus berdiskusi dengan ahli
politik dan analis politik Asia Selatan Prof Dr Andreas Ufen dari GIGA Hamburg
di Wisma KBRI, pada hari Minggu tanggal 12/3.
Yang
dikaji dalam kunjungan kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu
ke Jerman dan Meksiko salah satunya adalah soal sistem e-voting. Meski
demikian, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menyebut
belum ada urgensi untuk menggunakan sistem e-voting. Indonesia memiliki rencana
untuk menggunakan e-voting dalam sistem pemilu. Namun, banyak pihak kontra
terhadap rencana tersebut. Penggunaan teknologi e-voting pada pemilu mendatang
terasa dipaksakan. Indonesia tidak memerlukan sistem e-voting untuk digunakan
saat ini juga.
KPU
berpandangan bahwa sejak dimulainya kepengurusan dan sering berdiskusi mengenai
berbagai kasus, KPU memandang teknologi itu membantu dalam proses pengerjaan
dan pelaksanaan, dan KPU pada masa sekarang menggunakan sistem teknologi
informasi, berbeda dengan sebelumnya. Meski demikian, pandangan KPU terhadap
e-voting: tidak perlu.
Beberapa
negara maju menurut hasil penelitian tidak menggunakan sistem e-voting diantaranya
karena perdebatan mengenai transparansi dan kredibilitas hasilnya. Jerman yang
pada awalnya menggunakan e-voting namun saat ini berhenti menggunakan sistem
itu. Karena dari pihak konstitusinya mengharuskan semua warganya harus tahu
bagaimana pemilu itu dilakukan. Karena ketika dicek ditiap-tiap masyarakat
Jerman, banyak dari mereka yang tidak mengetahuinya, padahal pemahaman umum
pemilihan umum di Jerman dipandang penting.
Identifikasi
permasalahan di Indonesia adalah bukan bermasalah dengan sistem votingnya, melainkan
bagaimana penyelenggara pemilu bisa menghadirkan hasil yang cepat, akurat, dan
minim manipulasi. E-voting dianggap bisa menghilangkan sesuatu proses yang
selama ini tidak menjadi suatu masalah dengan itu. Karena pada tahap proses di
TPS merupakan tahap yang bagus di Indonesia.
Di
TPS terjadi beberapa proses yang menjadi ciri khas di Indonesia yang menganut
sistem pemilihan umum secara langsung, yaitu di TPS menunjukan sistem yang
terbuka, terdapat interaksi yang terjalin di antara masyarakat saat proses
perhitungan suara.
Tidak
menutup kemungkinan bahwa ada negara lain yang mampu dan sukses menggunakan
sistem e-voting, negara India dan Brasil. Sebelum dapat mensukseskan sistem
e-voting, kedua negara tersebut melalui proses yang tidak sedikit dan sebentar
kurang lebih belasan tahun. Dan di Brasil menganut lebih dari satu siklus
pemilu.
Terdapat
beberapa negara juga yang juga merencanakan untuk menggunakan teknologi
e-voting, bahkan negara-negara tersebut sudah mempersiapkan peralatan-peralatan
untuk itu namun kemudian urung menggunakannya. Negara tersebut adalah Australia
dan Inggris. Kedua negara tersebut mempunyai masyarakat yang tingkat
kepercayaannya terhadap penghitungan suara melalui teknologi rendah.
Pertimbangan
lain yaitu, biaya penggunaan teknologi e-voting juga tidak murah. Pada Pilpres
2014, tercatat ada sekitar 548.000 tempat pemungutan suara se-Indonesia. Jika
ingin menerapkan sistem e-voting pada pemilu serentak nanti, penyelenggara
harus menyediakan mesin sejumlah itu.
Sebenarnya
apasih e-voting itu? E-voting merupakan suatu hasil dari perkembangan teknologi
masa kini, lalu kenapa E-voting urung digunakan bahkan dianggap tidak
diperlukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia.
E-voting atau pemilihan elektronik
merupakan suatu sistem pemilihan umum melalui teknologi masa kini. Pada umumnya
E-voting digunakan untuk negara-negara kecil bebas konflik dan siap baik secara
mental maupun sarana dan prasarana. E-voting yang mungkin mudah untuk dipahami
oleh orang banyak adalah E-voting berbasis internet. Dimana pada saat proses
pemilihan umum, masyarakat suatu negara hanya perlu gadget dan segala
permasalahan dapat selesai dengan mudah. Namun permasalahannya tidak se-simple
itu. Ada beberapa negara, bahkan dapat dikatakan jumlah negara yang tidak
sedikit yang menganggap bahwa e-voting itu kurang membawa dampak yang baik.
Terdapat
kelebihan dan kekurangan pada sistem tersebut, diantaranya:
Kelebihan:
- · Penghitungan dan tabulasi suara lebih cepat.
- Hasil lebih akurat karena kesalahan manusia dikecualikan.
- Penanganan yang efisien dari formula sistem pemilu yang rumit yang memerlukan prosedur perhitungan yang melelahkan.
- Peningkatan tampilan surat suara yang rumit.
- Meningkatkan kenyamanan bagi para pemilih.
- Berpotensi meningkatkan partisipasi dan jumlah suara, khususnya pemilihan melalui Internet.
- Lebih selaras dengan kebutuhan masyarakat yang mobilitasnya semakin meningkat.
- · Pencegahan kecurangan di TPS dan selama pengiriman dan tabulasi hasil dengan mengurangi campur tangan manusia.
- Meningkatkan aksesibilitas, contohnya, memakai surat suara audio untuk pemilih tuna rungu dengan pemilihan melalui Internet, begitu pula pada pemilih yang tinggal di rumah dan yang tinggal di luar negeri.
- · Kemungkinan menggunakan layar multibahasa yang dapat melayani para pemilih multibahasa dengan lebih baik dibandingkan surat suara
- · Pengurangan surat suara yang rusak karena sistem pemilihan dapat memperingatkan para pemilih tentang suara yang tidak sah (walaupun pertimbangannya harus diberikan untuk memastikan bahwa para pemilih bisa tidak memberikan suaranya jika mereka memilih demikian).
- Berpotensi menghemat biaya dalam jangka panjang melalui penghematan waktu pekerja pemungutan suara dan mengurangi biaya untuk produksi dan distribusi surat suara.
- Penghematan biaya melalui pemilihan dengan Internet: jangkauan global dengan pengeluaran logistik yang sangat sedikit. Tidak ada biaya pengiriman, tidak ada keterlambatan saat pengiriman materi dan menerimanya kembali.
- Jika dibandingkan dengan pemilihan melalui pos, maka pemilihan melalui Internet dapat mengurangi insiden penjualan suara dan pemilihan oleh keluarga dengan memperbolehkan pemilihan beberapa kali namun hanya suara terakhir yang dihitung dan mencegah manipulasi dengan memberikan tenggat waktu bagi surat masuk, melalui kontrol langsung saat pemungutan suara.
Kelemahan:
• Kurangnya
transparansi.
• Terbatasnya
keterbukaan dan pemahaman sistem bagi yang bukan ahlinya.
• Kurangnya
standar yang disepakati untuk sistem e-voting.
• Memerlukan
sertifikasi sistem, tapi standar sertifikasi tidak disepakati secara luas.
• Berpotensi
melanggar kerahasiaan pemilihan, khususnya dalam sistem yang melakukan
autentikasi pemilih maupun suara yang diberikan.
• Risiko
manipulasi oleh orang dalam dengan akses istimewa ke sistem atau oleh peretas
dari luar.
• Kemungkinan
kecurangan dengan manipulasi besar-besaran oleh sekelompok kecil orang dalam.
• Meningkatnya
biaya baik pembelian maupun sistem pemeliharaan e-voting
• Meningkatnya
persyaratan infrastruktur dan lingkungan, contohnya, berkaitan dengan pasokan
listrik, teknologi komunikasi, suhu, kelembaban.
• Meningkatnya
persyaratan keamanan untuk melindungi sistem pemberian suara selama dan antara
pemilu ke pemilu selanjutnya termasuk selama pengangkutan, penyimpanan dan
pemeliharaan.
• Kurangnya
tingkat kendali oleh penyelenggara pemilihan karena tingginya ketergantungan
terhadap vendor dan/atau teknologi.
•
Kemungkinan
penghitungan ulang terbatas.
•
Kebutuhan
untuk kampanye tambahan bagi pendidikan pemilih.
•
Berpotensi
konflik dengan kerangka hukum yang ada.
•
Berpotensi
kurangnya kepercayaan publik pada pemilihan berdasarkan e-voting sebagai hasil dari kelemahan-kelemahan
di atas.
E-voting
di lingkungan terkendali dan tidak terkendali
E-voting
dapat dibagi menjadi dua, yaitu e-voting di lingkungan terkendali, yaitu hampir
serupa dengan pemilihan suara dengan TPS. Pada saat memilih di kotak suara, si
pemilih kandidat diawasi ketika proses pemilihan suara berlangsung. Namun,
bedanya e-voting berbasis ini adalah menggunakan mesin untuk memilih. Kertasnya
diganti dengan teknologi komputer. Sedangkan e-voting di lingkungan tidak
terkendali, si pemilih tidak diawasi oleh pengawas secara langsung, melainkan
pemilih menggunakan komputer di rumah, atau handphone dan semacamnya tanpa
diawasi oleh sekitar.
Dengan
pemungutan suara di lingkungan tak terkendali, kekhawatiran mengenai
kerahasiaan suara, pemilihan oleh keluarga, intimidasi, pembelian suara,
hilangnya ritual saat hari pemilu, dampak kesenjangan digital dan pemisahan
identitas pemilih. serta surat suara secara teknis, begitu pula dengan
integritas teknis dari perangkat yang digunakan pemilih untuk memberikan
suaranya, semuanya membutuhkan pertimbangan khusus. Bentuk terkini dari
pemilihan melalui Internet belum dapat memberikan solusi definitif terhadap
kekhawatiran tersebut.
E-voting
di lingkungan tak terkendali dapat dilihat sebagai bentuk persamaan elektronik
dari pemilihan melalui pos atau tidak memberikan suaranya/abstain.
Fitur umum dan fungsi sistem e-voting
Secara
internal, sistem pemilihan elektronik memiliki banyak fungsi, termasuk
enkripsi, pengacakan, komunikasi, dan sistem keamanan. Analisis spesifik atas
fungsi-fungsi tersebut melampaui maksud dari lembar ini. Untuk pemahaman dasar
mengenai hal-hal yang bisa dilakukan oleh sistem e-voting, dengan demikian,
perlu mempertimbangkan daftar berikut ini tentang beberapa fungsi akhir yang
dapat diberikan oleh sistem tersebut untuk para pemilih dan petugas pemilihan.
Daftar
pemilih elektronik dan autentikasi pemilih. Bagian dari sistem pemilihan
elektronik bisa menjadi daftar pemilih elektronik, meliputi satu TPS atau
seluruh penjuru negeri. Daftar ini dapat digunakan untuk mengautentikasi para
pemilih yang memenuhi syarat dan mencatat bahwa mereka telah memberikan
suaranya.
Layar
untuk pekerja pemilu. Fungsi khusus yang hanya tersedia bagi pekerja pemungutan
suara, contohnya yaitu menghitung ulang suara pada pembukaan TPS, penutupan
pemilihan, pencetakan dan pengiriman hasil.
Layar
bagi suara yang diberikan. Hal ini termasuk layar sentuh, pengenal marka optik
(OMR) kertas suara yang dimasukkan dalam pemindai, tablet peka-sentuh, tombol
penekan, laman web atau perangkat lunak pemilih khusus untuk pemilihan melalui
Internet.
Proses pemilu yang kredibel melalui
kepercayaan dan keyakinan publik
Bagian atas
piramida dan tujuan utama
dari pembaruan pemilu
dengan melaksanakan solusi e-voting merupakan proses pemilu kredibel
yang mendapatkan kepercayaan dan keyakinan publik tingkat tinggi pada sistem
baru. Pada awalnya, kepercayaan publik dibangun dalam konteks sosial politik
yang kemudian memperkenalkan e-voting. Beberapa faktor dalam konteks ini dapat
disampaikan secara langsung oleh strategi implementasi e-voting yang
komprehensif, sementara yang lainnya, seperti kurangnya kepercayaan pada EMB
atau politik fundamental atau oposisi teknis, akan lebih sulit untuk berubah.
Konteks
sosial politik yang mendukung secara signifikan membantu pengenalan e-voting
dan bahkan untuk sementara waktu dapat menutupi masalah yang mungkin terjadi
pada pelaksanaan teknis yang terperinci. Kepercayaan terhadap solusi yang
secara teknis lemah, bagaimanapun, dapat menyesatkan. Kelemahan saat
operasional, fondasi teknis atau hukum pada akhirnya akan muncul ke permukaan
dan mungkin akan mendiskreditkan, bukan hanya e-voting, tapi kemungkinan
keseluruhan proses pemilu, terutama ketika taruhan politik dari suatu pemilu
itu tinggi.
Pembatalan
keseluruhan pemilihan elektronik dari pemilu suatu negara mungkin akan menjadi
konsekuensinya, seperti yang terjadi di Jerman, Irlandia dan Belanda. Konteks
negatif sosial politik menciptakan risiko serius, bahkan jika fondasi teknis
dan operasional dari solusi e-voting diperdengarkan. Sangatlah sulit untuk membuat
sistem e-voting transparan dan operasional mereka dipahami dalam waktu singkat
bahkan menengah oleh masyarakat awam. Dukungan sosial dan politik yang lemah
akan menghalangi pelaksanaan solusi e-voting yang dipercaya, karena penentang
akan dengan mudah menemukan cara untuk merusak kepercayaan pada teknologi
pemilihan dengan menunjuk beberapa kelemahan yang ada.
Lingkungan sosial politik
Kepercayaan pada penyelenggaraan
pemilu dan keyakinan pada kerangka kerja pemilu yang lebih luas
E-voting
cenderung mengemban jauh lebih banyak tanggung jawab bagi proses pemilu
dibandingkan ribuan petugas TPS dan menempatkan tanggung jawab pada pusat
penyelenggaraan pemilu dan pelaksana sistem e-voting. Dengan melakukannya,
pelaksanaan e-voting mengurangi risiko meluasnya kecurangan dan manipulasi di
tingkat TPS, tetapi memusatkan risiko manipulasi di tingkat pusat.
Hal
ini menguntungkan bagi lingkungan yang kurang percaya pada petugas TPS, tetapi
penyelenggara pemilu di pusat dipercaya. Namun, dalam lingkungan pemilu yang
memiliki sedikit kepercayaan di struktur pusat EMB, pengenalan sistem pemilihan
elektronik dapat dengan mudah menjadi subyek untuk menyebarkan isu mengenai
potensi pusat manipulasi. Beberapa rumor ini mungkin sulit untuk disangkal.
Konsensus politik
Sistem
e-voting dapat dengan mudah diperkenalkan ketika terjadi konsensus politik
mengenai manfaat sistem pemilihan yang baru. Para aktor politik mungkin,
bagaimanapun, menentang pemilihan elektronik dengan banyak alasan, baik secara
prinsip, karena mereka sungguh-sungguh memiliki kekhawatiran teknis atau karena
mereka takut bahwa jalur pemilihan yang baru menjadi keuntungan bagi lawan
mereka; atau karena mereka percaya bahwa pihak lain mungkin menerima pujian
karena memodernisasi bagian pemilihan ini; atau karena mereka tidak memercayai
kemandirian para pelaksana sistem ini. Menghadapi perlawanan seperti ini, akan
sulit atau tidak mungkin untuk berhasil dalam membangun keyakinan.
Oleh
karena itu, mencari dukungan berbagai pihak selalu menjadi pendekatan yang
sangat bijak untuk memberikan persetujuan perubahan legislatif yang diperlukan
untuk memperkenalkan sistem pemilihan elektronik. Hal yang sama berlaku bahkan
ketika tidak menjadi persyaratan wajib untuk mengubah perundangan.
Faktor
risiko terkait dalam konteks ini yaitu sistem e-voting yang diperkenalkan
sebagai proyek politik, atau lebih seringnya proyek nasional, bangga—dengan
tujuan mendemonstrasikan teknologi yang cerdas dan modernitas. Keberlangsungan
dan rasio biaya-manfaat yang berarti, dapat menjadi korban pertama dari
pendekatan seperti ini. Pada beberapa tipe konteks, bahkan solusi yang
jelas-jelas tidak sesuai atau tidak memadai, mungkin didorong dan dianggap
perlu untuk menghindari rasa malu dari gagalnya suatu proyek bergengsi.
Pendekatan
dengan mempertimbangkan e-voting sebagai pilihan yang dapat ditarik tanpa para
pemangku kepentingan utama kehilangan muka membantu meminimalisasi risiko.
Konteks sosial
Para
aktor sosial utama, seperti lembaga swadaya masyarakat dan para pakar, sering
kali memiliki pendapat atau perhatian yang kuat mengenai e-voting. Idealnya,
para aktor tersebut harus dilibatkan di tahap awal ketika merencanakan
pengenalan e-voting, baik dengan memberikan mereka informasi yang cukup
mengenai sistem yang dipertimbangkan dan dengan memperbolehkan mereka
mengungkapkan kepedulian mereka sejak awal, ketika masih ada waktu untuk
membahasnya.
Para
pakar keamanan TIK kerap kali menjadi penentang kuat e-voting. Beberapa
pertentangannya cukup fundamental dan banyak sistem yang tersedia saat ini
tidak menjawab pertentangan tersebut. Penting untuk mendengar dan menjawab
pertanyaan mereka dengan mengklarifikasi segala kesalahpahaman, mengoreksi
kelemahan atau menerima risiko-risiko tertentu sebagai pertukaran untuk
keuntungan memperkenalkan sistem baru.
III.
PENUTUP
Menggunakan
e-voting tentunya akan menjadi sebuah tantangan bagi tiap negara yang berencana
akan menggunakannya. Karena mengganti suatu hal yang kerap digunakan selama
bertahun-tahun akan sangatlah sulit. Terutama di negara Indonesia yang memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda karena negara kepulauan yang tiap-tiap pulaunya
memiliki kebiasaan, tradisi, pola pikir, pola hidup, dll yang berbeda-beda
pula.
Suatu sistem pemilihan umum semacam e-voting
merupakan terobosan yang patut diapresiasi di zaman yang sudah akrab dengan
teknologi saat ini. Karena sistem e- voting dapat mendatangkan cukup banyak
manfaat apabila dengan cara yg benar saat menggunakannya. Fungsi utama dari
sebuah teknologi adalah memudahkan kegiatan manusia di bumi. Begitu pula dengan
teknologi e-voting.
Namun,
apabila teknologi e-voting tersebut memang bukan suatu cara yang baik untuk
dijalankan disuatu negara, maka lebih baik tidak dipaksakan. Karena untuk
merubah suatu sistem pada suatu negara tentu harus di pertimbangkan secara
matang, supaya tidak ada dampak negatif atau kerugian yang akan diterima di
masa mendatang. Dalam proses penggunaan e-voting sebelum mencapai kesuksesan,
memakan waktu hingga belasan tahun.
Di
negara Indonesia tidak memakai sistem pemilihan umum melalui teknologi e-voting
karena pemilihan umum langsung di TPS merupakan ciri khas dan yang paling cocok
dengan asas yang dianut di negara Indonesia yaitu LUBER (Langsung, Umum, Bebas
dan Rahasia). Jadi, apabila proses pemilihan umum langsung di TPS tersebut
dihilangkan maka asas tersebut juga akan hilang.
Kesimpulannya,
menggunakan e-voting bukanlah sesuatu
hal yang buruk tetapi sebagai suatu negara pastinya tahu sesuai atau
tidaknya negara tersebut memakai sistem e-voting. E-voting merupakan cara
praktis dan cepat dalam proses pemungutan suara, tetapi resikonya terdapat
pihak yang tidak bertanggung jawab di internet dan itu tidak terlihat kasat
mata dan seperti yang kita ketahui. Pemilihan menggunakan alat seperti komputer
membuat kita melewati proses tersebut tanpa tahu suasana dan kegiatan apa saja
yang terjadi selama pemilihan.
Sedangkan
menggunakan sistem pemilihan secara langsung, hal paling menonjol adalah
transparansi dan interaksi masyarakat selama proses pemungutan suara sangat kuat.
Setiap masyarakat yang sudah berhak memilih ketika pemilu akan merasakan
sensasi khidmat dan bangga ketika terjun langsung dalam proses pemilihan calon
kandidat pemilu. Namun, menggunakan pemilu langsung kerap kali hingga saat ini
masih ditemukan kasus oknum-oknum jahat yang curang pada saat proses pemungutan
suara.
Sukses
atau tidaknya suatu sistem, tergantung sistem dan pola kenegaraan yang dianut
di masing-masing negara. Dibutuhkan atau tidaknya sistem baru sehingga sistem
lama perlu diganti. Jadi, e-voting bisa menjadi pilihan mutlak ataupun pilihan
alternatif atau bukan dijadikan pilihan sama sekali, tergantung kebijakan
negara masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
https://isma-ismi.com/pengertian-demokrasi.html
Komentar
Posting Komentar