TUGAS 1 : TINJAUAN TENTANG UU NOMOR 28 TAHUN 2002

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Fungsi bangunan gedung pada masa sekarang dalam kehidupan masyarakat kini semakin kompleks, mengingat suatu bangunan gedung merupakan wadah penting yang dapat menunjang kebutuhan manusia dalam melakukan segala aktivitasnya, baik dalam rumah tangga, pemerintahan, usaha dan sebagainya. Pada hakikatnya manusia di dunia ini berhak dan di perbolehkan untuk membangun berbagai bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan, bentuk massa nya, struktur yang digunakan serta dana yang di perlukan. Namun, segala sesuatu yang di bangun tetap harus diatur dalam suatu undang- undang di pemerintahan agar proses pembangunan suatu gedung dapat berjalan dengan benar dan memiliki hukum yang mengatur.
Di Negara Indonesia telah ada dasar hukum yang kuat untuk mengatur tentang pembangunan suatu gedung, yaitu tercantum dalam undang- undang yang memiliki aturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintahan. Undang – Undang tersebut adalah Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung yang mulai berlaku pada tanggal 16 Desember 2002. Sebagai aturan pelaksanaannya tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2002 yang mulai di berlakukan tanggal 10 September 2005.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1.      Apa maksud dari Undang – undang Nomor 28 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005?
2.      Apa kaitannya Undang – undang Nomor 28 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 dengan tiap- tiap disiplin ilmu?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Aspek Hukum Bangunan Gedung menurut Undang – undang Nomor 28 Tahun 2002
Pengetahuan mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting mengingat hal-hal yang diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
Secara umum Undang – Undang Tentang Bangunan gedung mengatur tentang beberapa hal:
1.      Fungsi Bangunan Gedung
Dalam Undang - undang Bangunan Gedung diatur bahwa setiap bangunan gedung memiliki fungsi antara lain fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Fungsi bangunan gedung ini yang nantinya akan dicantumkan dalam Izin Mendirikan Bangunan atau disingkat dengan IMB. Terdapat perubahan fungsi bangunan gedung dari apa yang tertera dalam IMB, perubahan tersebut wajib mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Daerah.
IMB adalah adalah perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
Lebih lanjut, selain dalam UU nomor 28 Tahun 2002, IMB diatur dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Mendapatkan IMB ini wajib hukumnya bagi setiap penduduk, karena dengan begitu, setiap bangunan baik yang berupa rumah maupun gedung, setidaknya akan terdaftar oleh pemerintah.




2.      Persyaratan Bangunan Gedung
Persyaratan bangunan gedung dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung dimana diatur bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi kedua persyaratan tersebut.
1.                   Yang masuk dalam ruang lingkup persyaratan administratif bangunan gedung ini yaitu:
o         persyaratan status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
o         status kepemilikan bangunan gedung; dan
o         izin mendirikan bangunan gedung.
2.                   Sementara itu, persyaratan teknis bangunan gedung dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
·                      Ruang lingkup persyaratan tata bangunan yaitu meliputi:
a) Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, yaitu berhubungan dengan persyaratan peruntukan lokasi bangunan gedung yang tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum, serta ketinggian gedung;
b) Arsitektur bangunan gedung; dan
c) Persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yaitu persyaratan pengendalian dampak lingkungan yang hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Persyaratan terhadap dampak lingkungan ini sendiri berpedoman pada undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mengatur tentang kewajiban setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup untuk wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
·                      Persyaratan keandalan bangunan gedung, persyaratan ini ditetapkan berdasarkan fungsi masing-masing bangunan gedung yang secara umum meliputi persyaratan:
a) keselamatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dengan melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif serta bahaya petir melalui sistem penangkal petir;
b) kesehatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan sistem sirkulasi udara, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung;
c) kenyamanan, yaitu berkenaan dengan kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan; dan
d) kemudahan, yaitu berkenaan dengan kemudahan akses bangunan gedung, termasuk tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia, serta penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.
3. Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Penyelenggaraan bangunan gedung tidak hanya terdiri dari penggunaan bangunan gedung, melainkan juga meliputi kegiatan:
1.                   Pembangunan, yang dilakukan oleh penyedia jasa konstruksi melalui tahapan perencanaan dan pelaksanaan dengan diawasi pembangunannya oleh pemilik bangunan gedung. Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk IMB. Pembangunan bangunan gedung ini sendiri dapat dilakukan baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
2.                   Pemanfaatan, yang dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi. Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis. Agar persyaratan laik fungsi suatu bangunan gedung tetap terjaga, maka pemilik gedung atau pengguna bangunan gedung wajib melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala terhadap bangunan gedung.
3.                   Pelestarian, yang dilakukan khusus untuk bangunan gedung yang ditetapkan sebagai cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan.
4.    Pembongkaran, alasan-alasan bangunan gedung dapat dibongkar apabila bangunan gedung yang ada:
o         tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
o        dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya;
o         tidak memiliki IMB.
Selain mengatur tentang persyaratan bangunan gedung, UU Bangunan gedung juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik bangunan.
1.                   Pemilik bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
o        melaksanakan pembangunan bangunan gedung setelah mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
o        mendapatkan surat ketetapan serta insentif untuk bangunan gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Daerah;
o        mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari Pemerintah Daerah;
o        mendapatkan ganti rugi apabila bangunannya dibongkar oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan oleh kesalahannya.
2.                   Pemilik bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain:
o         melaksanakan pembangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung;
o         memiliki IMB;
o        meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas perubahan rencana teknis bangunan gedung pada tahap pelaksanaan bangunan.



3.                   Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
o         mengetahui tata cara atau proses penyelenggaraan bangunan gedung;
o        mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;
o        mendapatkan keterangan tentang ketentuan persyaratan keandalan dan kelayakan bangunan gedung;
o        mendapatkan keterangan tentang bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.
4.                  Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain:
o        memanfaatkan serta memelihara bangunan gedung sesuai dengan fungsinya secara berkala;
o        melengkapi petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung;
o        membongkar bangunan gedung yang telah ditetapkan dapat mengganggu keselamatan dan ketertiban umum serta tidak memiliki perizinan yang disyaratkan.
5.      Peran Masyarakat
Sebagai bagian dari pengguna bangunan gedung, dalam UU Bangunan Gedung juga mengatur mengenai peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang mencakup:
1.                  pemantauan penyelenggaraan bangunan gedung;
2.                  memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis untuk bangunan gedung;
3.                  menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan, rencana teknis bangunan gedung dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan;
4.                  melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
6.      Sanksi
Berkenaan dengan sanksi dalam hal adanya pelanggaran atas UU Bangunan Gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Yang masuk dalam ruang lingkup sanksi administratif yaitu dapat diberlakukan pencabutan IMB sampai dengan pembongkaran bangunan gedung serta dapat dikenakan sanksi denda maksimal 10% (sepuluh persen) dari nilai bangunan yang sedang maupun telah dibangun. Sedangkan sanksi pidana yang diatur dalam UU Bangunan Gedung ini dapat berupa sanksi kurungan penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai bangunan gedung jika karena kelalaiannya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
2.2  Aspek Hukum Bangunan Gedung menurut Undang – undang Nomor 28 Tahun 2002
Relevansi dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pertanyaan sebagaimana dimaksud diatas, menjadi lebih sering di dengar setelah ditetapkannya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 3 Mei 2005. Memperhatikan bagian pertimbangan (consideran) Peraturan Presiden tersebut di mana di sebutkan dalam : “butir

a. Bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
b. Bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai dengan landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Selanjutnya dalam butir
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan butir a dan butir b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “

Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami perluasan kriteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.
Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh pemerintah.

Permasalahan Hukum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005;
·         Permasalahan Formal : Ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah“.

Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi materi yang diperintahkan Undang-undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah. Artinya juga bahwa Peraturan Presiden sesungguhnya dibuat sebagai sarana administrasi pemerintah, namun menunjuk (according) Undang-undang dan /atau Peraturan Pemerintah. Bagaimana dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanan Kepentingan Umum? Telah diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005. Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden.

·         Permasalahan Materiil: Perihal Pencabutan Hak Atas Tanah (pasal 2 ayat 1 b, pasal 18): Mengenai permasalahan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Hak Asasi Manusia telah memberikan jaminan serta perlindungan terhadap hak milik atas tanah, sebagaimana dinyatakan dalam :

1. UU No. 5 tahun 1960 (UUPA ) : Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Penjelasan pasal 6 ; ? Lihat penjelasan umum (II angka 4). “………. tetapi dalam ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya ( pasal 2 ayat 3 ) ………….”.
2. Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 36 :
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarkat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak seorangpun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum
3. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 ;

Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini, peraturan per-UU-an lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka dengan tegas dapat dinyatakan bahwa Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 bertentangan dengan UUPA dan UU HAM.
Oleh sebab itu, dikarenakan dalam ilmu hukum dikenal asas hukum “Lex superior derogat legi inferiori” yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah, sehingga dalam hal ini yang berlaku adalah UUPA dan UU HAM. Perihal Ganti Kerugian (pasal 1 angka 11, pasal 10, pasal 12, pasal 13, pasal 15 ): Berkaitan dengan permasalahan ganti kerugian, dimana dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, dinyatakan bahwa dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah, menimbulkan keresahan bagi masyarakat. dalam kondisi senyatanya dimana harga jual tanah itu bisa tiga kali lipat atau lebih dari NJOP, sehingga hal ini telah membawa masyarakat kepada kondisi yang menurun. Berbeda dengan ketentuan dalam UUPA, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :

Pasal 18 ( UUPA ) Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU.
Penjelasan pasal 18 ; Pasal ini merupakan jaminan dari rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak. Mengenai permasalahan ganti kerugian yang layak ini, seharusnya dapat juga dipertimbangkan tidak hanya sebatas pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga bangunan, dan tanaman yang ditetapkan oleh instansi pemerintah, tetapi berkaitan juga dengan ganti kerugian atas relasi sosial, seperti antara lain dengan pindah dari tempat semula ketempat yang kurang accessble mengakibatkan biaya transportasi untuk ke kantor, ke sekolah, ke pasar menjadi lebih mahal dan menggangu hak-hak ekonomi rakyat. Dengan demikian ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan UUPA.















BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Dengan adanya Undang – undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Pembangunan Gedung serta Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2002 menjadi dasar hukum yang kuat sehingga proses pembangunan di Indonesia berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan. Namun, tidak menutup kemungkinan meskipun telah ada hukum yang tercantum secara nyata tetap saja oknum yang tidak mematuhinya. Terutama untuk seorang arsitek yang menjadi salah satu profesi yang terkait dengan kedua peraturan tentang pembangunan gedung tersebut. Seorang arsitek harus paham betul dengan Undang – undang serta Peraturan yang ada sehingga nantinya pada saat membangun sebuah gedung tidak mengalami masalah secara hukum.





































SUMBER


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Interpretatif

HUTAN KOTA UNIVERSITAS INDONESIA

Kritik Impresionis