Undang - Undang dan Peraturan Pembangunan

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMBANGUNAN

I.             UU NOMOR 4 TAHUN 1992

Meningkatnya jumlah populasi manusia berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan tempat tinggal. Memiliki tempat tinggal seperti perumahan menjadi salah satu hal penting yang menjadikan seorang manusia memenuhi kebutuhan primernya sebagai manusia yang utuh. Untuk mengatur dan menghindari adanya permasalahan sosial, ekonomi maupun aspek lainnya maka di buatlah Undang- Undang yang mengatur tentang Perumahan dan pemukiman yaitu, pada Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1992. Di dalam Undang- Undang tersebut :

Menimbang:
A.    Bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

B.     Bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana, dan berkesinambungan;

C.     Bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

D.    Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan (Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan (Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan, dan oleh karenanyadipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-Undang yang baru;

Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Pasal yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat akan perumahan serta kewajibannya untuk ikut serta dalam pembangunannya, yaitu terdapat pada BAB III Pasal 5 yang terdiri dari 2 ayat.
Pasal tersebut berisi:
Pasal 5
(1)     Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau  menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

(2)     Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Dalam pasal tersebut tercantum jelas bahwa warga negara wajib terpenuhi kebutuhannya akan tempat tinggal yang layak untuk di huni. Maka permasalahan yang kerap di hadapi saat ini khususnya masyarakat Indonesia terutama untuk masyarakat kalangan bawah, tempat tinggal yang mereka huni masih jauh dari kata layak.
Tidak hanya mempunyai hak untuk memiliki sebuah rumah untuk ditinggali, namun seluruh masyarakat juga berkewajiban untuk ikut serta dalam proses pembangunan perumahan dan pemukiman yang lebih baik.

II.                  KEBIJAKAN TENTANG RUMAH SUSUN

Dengan populasi manusia yang semakin meningkat dan lahan yang terbatas, maka tentunya untuk pembangunan tempat tinggal tidak dapat di lakukan tanpa melalui banyak pemikiran yang mendalam, salah satu alternatif yang dapat menekan penggunaan lahan untuk pembangunan rumah yang semakin meningkat maka di buat lah bangunan rumah susun.
Dimana rumah susun adalah sarana tempat tinggal bertingkat yang mendatangkan banyak manfaat selain untuk menekan jumlah lahan yang digunakan, membuat ruang-ruang kota menjadi lebih lega juga menjadi cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh.
Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai rumah susun, yaitu Undang-undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (“UURS”). Definisi rumah susun menurut Pasal 1 butir (1) UURS adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang di strukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.


Peraturan perundang-undangan yang utama mengatur mengenai rumah susun adalah Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (diundangkan pada tanggal 31 Desember 1985) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (diundangkan pada tanggal 26 April 2009). Selain itu masih ada beberapa peraturan khusus lain yang berkaitan dengan rumah susun.
Arah kebijaksanaan rumah susun di Indonesia tercantum dalam UURS berisi 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:

1.      Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan, dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan penduduk;
2.      Konsep pembangunan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan pemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni, yang dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik satuan rumah susun, berwenang mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan rumah susun;
3.      Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik atau fidusia atas tanah beserta gedung yang masih dibangun.

Berdasarkan arah kebijaksanaan tersebut, maka tujuan pembanguan rumah susun adalah:
1.      Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat;
2.      Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang;
3.      Untuk meremajakan daerah-daerah kumuh;
4.      Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan;
5.      Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk.

Beberapa tujuan tersebut harus menjadi pedoman bagi pengusaha jasa pembangunan (developer) rumah susun. Di dalam Penjelasan Umum UURS ditegaskan bahwa pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah.
Oleh karena itu, ada pembangunan rumah susun yang digunakan bukan untuk hunian melainkan fungsinya memberikan lapangan kehidupan masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Hal ini diatur dalam Pasal 24 UURS yang menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UURS berlaku dengan penyesuaian menurut kepentingannya terhadap rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain, mengingat bahwa dalam kenyataannya terdapat kebutuhan akan rumah susun yang bukan untuk hunian tetapi mendukung fungsi pemukiman dalam rangka menunjang kehidupan masyarakat.

III.      HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
  • Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
  • Perikatan yang timbul dari undang-undang.
  • Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
  • ·       Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
  • ·     Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
  • ·       Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Asas Asas Dalam Hukum Perikatan

1.      Asas kebebasan berkontrak

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1.      Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.      Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4.      Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

          Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.

          Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.


2. Asas Konsesualisme

       Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

       Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).

       Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kepastian Hukum

      Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

       Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.


4. Asas Itikad Baik (Good Faith)

      Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.

      Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5. Asas Kepribadian (Personality)

         Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.

        Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

Perikatan yang timbul karena perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu orang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain dan dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUH Perdata). Oleh karena itu perjanjian timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan Perikatan.  Perjanjian itu menerbitkan suatu perkataan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengundang janji atau kesanggupan yang ditulis atau diucapkan.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu melibatkan perikatan. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan  disamping sumber lainnya. Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya perkataan “kontrak” lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Unsur Perjanjian
Aspek kreditur atau disebut aspek aktif :
1.                  Hak kreditur untuk menuntut supaya pembayaran dilaksanakan.
2.                  Hak kreditur untuk menguggat pelaksanaan pembayaran.
3.                  Hak kreditur untuk melaksanakan putusan hakim.

Aspek debitur atau aspek pasif terdiri dari :
1.                  Kewajiban debitur untuk membayar utang.
2.                  Kewajiban debitur untuk bertanggung jawab  terhadap gugatan kreditur
3.                  Kewajiban debitur untuk membiarkan barang-  barangnya dikenakan sitaan eksekusi.

Pembatalan suatu perjanjian
Pembatalan ini pada umumnya berakibat bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian sebelum dibuat. Kalau yang dimaksudkan oleh undang-undang itu untuk melindungi suatu pihak yang membuat perjanjian sebagai mana halnya dengan orang-orang yang masih dibawah umur/dalam hal telah terjadi suatu paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka pembatalan itu hanya dapat dituntut oleh orang yang hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Penuntutan pembatalan yang dapat diajukan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian yang dirugikan, karena perjanjian itu harus dilakukan setelah waktu lima tahun, waktu di mana dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum dewasa dihitung mulai hari orang itu telah menjadi dewasa dan dalam hal suatu perjanjian yang dibuat karena kekhilafan atau penipuan dihitung mulai hari dimana kekhilafan atau penipuan ini diketahuinya. penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh hakim jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang rugikan.

Lahir dan hapusnya suatu perjanjian

1.         Perikatan-prikatan yang lahir dari perjanjian
Untuk suatu perjanjian yang harus terpenuhi empat syarat yaitu:
a.                  Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan dirinya
b.                  Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c.                   Suatu hal tertentu yang diperjanjiakan
d.                  Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya yang tidak terlarang.
Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak (sebab) yang diperbolehakan. Secara leterlijk kata oorzaak atau caosaberarti sebab, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu ialah tujuan yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Misalnya, dalam suatu perjanjian jual beli: satu pihak akan menerima sejumlah uang tunai dan pihak lain akan menerima bunga (rente). Dengan kata lain caosa yang berati isi perjanjian itu sendiri.
Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk meningkatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu dan sepakat misalnya dengan memasang harga pada barang ditoko, orang yang mempunyai toko itu dianggap telah menyatakan kehendaknya untuk menjual barang-barang itu. Apabila ada sesuatu yang masuk ke toko tersebut dan menunjuk suatu barang serta membayar harganya dapat dianggap telah lahir suatu perjanjian jual beli yang meletakkan kewajiban pada pemilik toko untuk menyerahkan barang-barang itu.

2.         Perihal-perihal hapusnya perikatan
Undang-undang menyebutkan 10 macam cara hapusnya perikatan, antara lain:
a.                  Karena pembayaran
b.                  Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu disuatu tempat
c.                   Pembaharuan hutang
d.                  Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
e.                  Percampuran hutang
f.                    Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
g.                  Pembatalan perjanjian
h.                  Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan
i.                    Lewat waktu
Perincian dalam jumlah pasal 1381B.W. itu tidak lengkap karena telah dilupakan hapusnya suatu perikatan karena lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam suatu perjanjian. Selanjutnya dapat diperingatkan pada beberapa cara yang khusus ditetapkan terhadap perikatan misalnya ketentuan suatu perjanjian Maatchap atau perjanjian Lastgeving hapus dengan meninggalnya seorang anggota maatchap itu atau meninggalnya orang yang memberikan perintah dan karena curatele atau pernyataan pailit mengakibatkan juga hapusnya perjanjian maatchap itu.

Resiko,Wanprestasi, dan Aklibatnya

Kata resiko, berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kerugian jikalau ada suatu kejadian diluar kesalahan, salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Dalam pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak itulah perjanjian menjadi tanggungan orang yang menagih atau penyerahannya yang dimaksud pasal tersebut ialah salah satu perjanjian yang meletakkan kewajiban hanya pada satu pihak saja, misalnya jika ada seorang menjanjiakan seekor kuda, dan kuda ini belum diserakan kemudian mati karena disambar petir maka perjanjian dianggap hapus. Orang yang menyerahkan kuda bebas dari kewajiban untuk menyerahkan. Iapun tidak usah memberikan suatu kerugian dan orang yang menrima kuda itu akan tetapi menurut pasal tersebut bila si berhutang itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan barangnya maka sejak saat itu maka resiko berpindah diatas pundaknya meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan resiko itu.
Resiko dalam perjanjian yang meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu dinamakan perjanjian timbal balik. Menurut pasal 1460 dalam suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli meskipun ia belum diserahkan dan masih berada ditangan penjual. Dengan demikian, jika barang itu dihapus bukan karena salahnya si penjual, si penjual masih tetap berhak untuk menagih harga yang belum dibayar. Dalam pasal 1545 menetapkan bahwa jika dalam suatu perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan.  Sebelum dilakukan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus diluar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran yang dianggap dengan sendirinya hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk meminta kembali barang itu. Dengan kata lain resiko disini diletakkan diatas pundak pemilik barang itu sendiri dan hapusnya barang sebelum penyerahan membawa pembatalan perjanjian.
Berhubung dengan sifatnya, pasal 1460 sebagai kekecualian itu, menurut pendapat yang lazim dianut, pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit, sehingga ia hanya berlaku dalam hal suatu barang yang sudah di beli. Tetapi belum diserahkan hapus sebagaimana telah diterangkan seorang debitur yang lalai , melakukan wan prestasi dapat digugat di depan hakim, dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai apabila ia tidak memenuhi kewajibannya/memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. Hal kelalaian/wan prestasi pada pihak si berhutang ini dinyatakan secara resmi yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berhutang itu menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.

Sumber:
https://www.hukumproperti.com/rumah-susun/kebijakan-pembangunan-rumah-susun/
https://sunandri.blogspot.co.id/2013/11/uu-no.html
http://www.kuliahhukum.com/resume-hukum-perikatan/
http://sugiantomm2.blogspot.co.id/2013/03/dasar-hukum-perikatan.html
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/perikatan-yang-timbul-dari-perjanjian.html




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Interpretatif

HUTAN KOTA UNIVERSITAS INDONESIA

Kritik Impresionis